Meningkatkan Daya Saing UMKM
Kliping Berita
Saat ini jumlah usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) terus mengalami pertumbuhan sehingga kontribusinya terhadap penguatan ekonomi nasional makin diperhitungkan. Berdasarkan data statistik Kementerian Negara Koperasi dan UKM, jumlah UMKM pada tahun 2009 saja mencapai 52,76 juta unit, meningkat 2,64% dibanding tahun sebelumnya. Jumlah ini merupakan 99,9% dari total seluruh unit usaha yang beroperasi di dalam negeri.
Dalam hal penyerapan tenaga kerja, UMKM mampu memperkerjakan 96,2 juta orang atau mencapai 97% dari total angkatan kerja yang bekerja. Sementara kontribusi terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) mencapai 56,53% dari total PDB nasional. Pertumbuhan UMKM baik secara kuantitas maupun kualitas membuktikan jika sektor ini mampu menjadi penyangga perekonomian negara. Akan tetapi dibalik kinerja positif tersebut diatas, ada beberapa hal yag harus dicermati terkait dengan daya saing global produk UMKM yang ternyata makin melemah.
Hal ini paling tidak ditunjukkan dengan makin berkurangnya kontribusi UMKM dalam kegiatan ekspor non migas. Jika pada 2008, kontribusi ekspor UMKM mencapai 18% dari total ekspor non migas, tahun berikutnya turun menjadi 17%. Ini akibat melemahnya daya saing harus secepatnya diantisipasi agar produk UMKM tidak terus kalah bersaing dengan produk negara lain.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan penurunan kinerja ekspor non migas UMKM. Pertama, banyaknya produk UMKM yang tidak memiliki sertifikasi mutu berstandar internasional. Padahal sertifikasi ini diperlukan agar konsumen di luar negeri yakin jika produk yang dihasilkan UMKM Indonesia telah lolos uji mutu dan kelayakan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Namun hingga saat ini produk UMKM yang mendapat sertifikasi standar mutu internasional masih sedikit, bahkan yang memperoleh sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) masih terbilang minim. Hal ini membuat produk UMKM sulit diterima oleh konsumen luar negeri.
Ironisnya, China justru lebih antusias untuk mendapatkan sertifikasi SNI. Sebagai langkah awal China sudah membeli 653 SNI yang dikeluarkan Badan Standardisasi Nasional (BSN). Artinya China berhak memproduksi barang dengan standar mutu yang sama dan dipasarkan di Indonesia. Jika tidak cepat diantisipasi, UMKM tidak saja akan kehilangan pasar diluar negeri tapi juga kalah bersaing dengan produk impor di dalam negeri.
Kedua, rendahnya penguasaan teknologi produksi dan teknologi informasi. Hal ini membuat proses produksi banyak dikerjakan secara manual sehingga tidak menjadi efisien. Akibatnya harga produk menjadi mahal dan kualitas barang jadi rendah. Wajar jika produk UMKM kalah bersaing dengan produk negara di kancah global.
Ketiga, tidak terintegrasinya berbagai unit UMKM meskipun sudah dibentuk sentra usaha. Berbagai program pemerintah seperti One Village One Product (OVOP) dan sistem kluster belum berhasil menyatukan unit-unit usaha yang ada sebagai satu kesatuan usaha yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Akibatnya pengusaha kecil tetap berjuang masing-masing dan saling bersaing sendiri mendapatkan pasar.
Keempat, rendahnya akselerasi penyaluran kredit untuk sektor UMKM, baik yang disalurkan melalui lembaga penyalur dana bergulir (LPDB) maupun program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Meskipun pada awal tahun 2011 tampak adanya peningkatan gairah penyaluran kredit, fasilitas ini masih tetap belum optimal dirasakan oleh UMKM non bankable. Sebagian besar penyaluran kredit melalui LPDB dan skema KUR masih disalurkan kepada pengusaha kecil yang sudah bankable atau justru disalurkan kepada usaha yang semula tidak direncanakan, seperti pembangunan dan pengembangan pasar tradisional. Hal ini membuat tujuan program KUR, yaitu pemberian fasilitas kredit bagi UMKM yang belum tersentuh layanan bank, menjadi tidak tercapai.
Jika berbagai masalah terus berlangsung, keterpurukan UMKM hanyalah menunggu waktu dan dikhawatirkan dapat mengancam stabilitas perekonomian nasional.
Langkah Pembenahan
Guna mengantisipasi berbagai masalah tersebut, pemerintah perlu melakukan beberapa aksi; pertama, mewajibkan produk UMKM mengikuti proses uji kelayakan dan standardisasi mutu yang dilakukan oleh Badan Standardisasi Nasional. Semua produk UMKM yang lolos uji akan memperoleh sertifikasi standar mutu terutama SNI.
UMKM juga didorong agar mampu membuat desain produk yang menyiratkan budaya dan adat istiadat lokal. Hal ini penting untuk memberikan ciri khas pada produk UMKM. Dengan diperolehnya SNI dan digunakannya nilai budaya lokal, hasil produksi UMKM akan memiliki daya saing dipasar global.
Kedua, merevitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK) agar dapat berfungsi sebagai sentra pelatihan bagi pengusaha UMKM di daerah. Saat ini sebagian besar BLK tidak dapat berfungsi optimal. Menurut data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, hanya 3% BLK yang memiliki kualitas infrastruktur baik.
Saat ini, sekitar 51% BLK memiliki kondisi sedang, 39% dalam kondisi buruk dan 6% BLK belum berfungsi optimal karena sedang dalam proses perbaikan. Jika balai latihan kerja dapat difungsikan secara optimal, proses pelatihan dan alih teknologi produksi serta informasi dapat berjalan dengan baik sehingga UMKM mampu melakukan proses produksi secara efisien dan menghasilkan produk berdaya saing tinggi.
Ketiga, memaksimalkan peran lembaga pengembangan bisnis (LPB) untuk membantu pembentukan dan pengembangan program OVOP dan sistem kluster sehingga dapat tercipta sentra UMKM yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. LPB juga berfungsi sebagai konsultan yang akan membantu meningkatkan kualitas pengelolaan UMKM.
Keempat, mendorong percepatan pembentukan lembaga pemeringkat UMKM. Lembaga ini diperlukan untuk memberikan penilaian objektif terhadap kinerja, pengelolaan dan prospek bisnis UMKM. Selama ini, UMKM selalu dipersepsikan sebagai unit bisnis yang memiliki risiko tinggi sehingga bank harus menerapkan prosedur yang birokratis dan persyaratan yang ketat sebelum memberikan fasilitas kredit. Adanya lembaga pemeringkat akan membantu UMKM untuk menyakinkan bank agar bersedia menyalurkan kredit ke UMKM, bankable, maupun non bankable, sepanjang mampu memenuhi persyaratan dan dinilai layak untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan. Sumber : Kontan, Selasa 31 Mei 2011. Hal. 23